Selasa, 17 Desember 2013

Terimakasih telah menyembunyikanku

Kita sudah hilang kontak sejak lama, sejak aku meninggalkan Jogja untuk beberapa bulan. Alasanku cepat-cepat pergi karena masih banyak hal yang harus kuselesaikan disini. Kuliahku, tulisanku, dan beberapa lagu-lagu rindu yang sebenarnya hanya tertuju untukmu. Dengan mata yang terkantuk-kantuk sehabis mengerjakan tugas kuliah ini, tiba-tiba aku ingin menulis tentang kamu. Tentang pria yang selalu datang pergi, hadir dan hilang, dekat dan menjauh; KAMU.

Aku tak tau apakah liburan kali ini aku bisa pulang ke Jogja. Aku juga tak mau berjanji jika bisa menemanimu akhir tahun ini, seperti beberapa tahun lalu kita menghabiskan tahun baru di Jogja, sambil melihat kembang api dekat alun-alun utara dan menikmati dinginnya Jogja dimalam hari. Seandainya kau tau, disini aku setengah mati merindukanmu. Denyut nafas dan helaan jantung juga turut menginginkan kamu ada disampingku, sedekat kita saling menatap di lantai dua Mister Burger di Jalan Sudirman. Semua hal tentangmu masih hinggap dikepalaku, juga saat kaugenggam jemariku, kautuntun aku menari dibawah hujan di area Plengkung Gading kala itu.

Ingatanku kembali menyerap sosokmu lagi, saat aku datang kerumah dan nenekku berkali-kali bertanya soal kita. Aku bisa jawab apa? Hanya dengan tawa miris yang sebenarnya begitu sulit kutunjukkan. Kamu mengangguk lemah dan dengan bahasa Jawa halus kaujelaskan segalanya. Kaubilang AKU adalah KEKASIHMU, KEBANGGAANMU, KECINTAAN NOMOR SATU. Nenekku tersenyum, seakan beliau merasakan yang ia rasakan dulu bersama kakekku.

Kita berpamitan sebelum meninggalkan rumah, kamu mencium tangan nenekku sembari berpamitan. Aku memerhatikan kejadian itu, seakan tak percaya bahwa KAULAH pria yang kukenal selama ini. Setelah kita putus, rasanya aku tak ingin mengaku bahwa hubungan kita telah berakhir didepan banyak orang yang bertanya soal kebersamaan kita saat ini. Karena, aku dan kamu berusaha terlihat baik-baik saja, kamu masih sering datang kerumah, mengajakku makan malam, memintaku menemanimu melihat beberapa bangunan di Jogja untuk kau gambar.

Aku pernah SANGAT MENCINTAIMU, pernah sangat mengerti bahwa kita dulu punya perasaan yang sama. Diatas sepeda motormu yang suaranya selalu kubenci, kamu memintaku memelukmu sangat erat. Aku ingat saat itu sedang dilmapu merah didekat jalan Solo. Ketika melewati sekolah SMA-mu dulu, kamu memekik Mars De Britto sambil ketawa cekikikan. Aku tak tau apa yang kautertawakan, aku juga tak tau apakah tawa itu adalah tawa yang kaupaksakan karena tau esok hari aku akn meninggalkan Jogja lagi.

Kau arahkan sepeda motormu ke Jalan Sudirman, kita berhenti ditempat biasa kita menikmati suara kendaraan bermotor sambil bercerita banyak hal mengenai AKU dan KAMU. Kamu menyentuh pipiku, rambutku, dan mencubit hidungku sampai merah. Entah mengapa, aku tidak melawan, karena hari itu adalah hari terakhir aku bisa menatapmu SEDEKAT INI. Setelah ini, aku tak perlu lagi bersembunyi dan kamu tak perlu lagi menyembunyikanku. Selamanya, aku akan jadi adikmu, mantan kekasih yang diam-diam masih sering merindukanmu.

Sambil menatap matamu yang teduh, sesekali kuperhatikan jari manismu. Kamu memberikan undangan dengan namamu dan nama seorang wanita yang beberapa minggu lagi menjadi satu daging bersamamu. Benda itu sudah cukup jadi alasan agar aku mematikan perasaan.

Terimakasih untuk persembunyian yang menyenangkan, terimakasih untuk peluk hangat yang diam-diam kauberikan untukku meskipun saat itu kekasihmu mengirimi pesan singkat berkali-kali; pesan yang tak kau gubris sama sekali. Ah, rasanya setiap mengingat ini, aku ingin lari. Pria macam apa yang bisa kucintai sampai berdarah-darah begini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar