Jumat, 04 April 2014

Cinta Pertama Itu ...

Untukmu, pria yang kubenci sejak kelas 3 SD, namun begitu kucintai saat kelas 6 SD.

Boleh basa-basi sedikit? Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu? Bagaimana wujudmu saat ini? Masihkah pipimu merah ketika cahaya matahari mencium lembut pipimu? Masihkah rambut lucu ketika keringat membasahi tempurung kepalamu? Masihkah kamu membawa saputangan untuk membasuh keringatmu? Apakah semua telah berbeda?

Untukmu, si unik dengan senyum fantasi.

Aku bertanya-tanya, bagaimana sinar matamu saat ini? Masihkah sejuk dan beningnya seperti dulu? Seperti kala kita membagi bekal bersama. Saat anak-anak yang lain sibuk bermain, aku dan kamu malah duduk dibangku kelas, hanya berdua. Sambil mengunyah nasi yang masih penuh dimulutmu, kaubercerita banyak hal padaku. Sewaktu itu, kaumasih bercita-cita ingin menjadi polisi, dan aku bercita-cita ingin menjadi doktor. Mengingat kenangan memang indah, mampu membuat seseorang tersenyum walaupun masa itu tak akan pernah kembali.

Untukmu, yang sekarang entah berada dimana dan bersama siapa sekarang

Dulu, saat pertama kali bertemu, aku sangat membencimu. Aku benci ketika tau kau berada diranking dua dan aku diranking empat. Hey! Kaubuat gila! Sampai duduk di bangku kelas 6 pun, kita masih saja sekelas. Astaghfirullahaladzim Tuhan, siksaan apalagi ini? Tapi, entah mengapa, ada titik dimana kita tak seperti musuh, ada saat dimana kita tiba-tiba menjadi dekat, dan aku tak pernah tau mengapa rasa benci itu  berubah menjadi begini. Entah mengapa rasa iri itu berevolusi menjadi cinta dalam usia dini.

Saat paduan suara, aku tau kamu sering melirikku diam-diam, karena berkali-kali aku menangkap basah kamu sedang menatapku. Saat aku jadi pembawa bendera setiap hari Senin, kauselalu melihatku setiap langkahku, terselip senyum bahkan tertawa kecil. Hey! Saat itu kita masih dibangku sekolah dasar! Mengapa kauajarkan perasaan aneh itu padaku? Dulu ...  Kita masih terlalu dini untuk mengerti cinta, apalagi menafsirkannya.

Untukmu, yang mungkin tidak akan membaca tulisan ini

Sedang apa kamu disana? Apakah kaumasih ingat sosokku dan bentuk wajahku? Apakah kaumasih ingat banyak hal yang terjadi saat kita SD? Ah ... mungkin kau lupa, aku masih mengingat kenangan-kenangan itu karena aku punya perasaan yang berbeda denganmu. Entahlah ... mungkin perasaanmu tak sama dengan perasaanku.

Aku masih ingat perpisahan kita kala itu, saat legalisasi ijazah SD, kau mengucapkan selamat padaku, walaupun nilai kita rata-ratanya hampir sama. Yap! Saat itu juga kita membicarakan rencana sekolah saat SMP nanti, kita berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Langkahku dan langkahmu berhenti, kita saling menatap, jantungku bereaksi dengan hormon adrenalin, detaknya begitu kencang, kaumenggetarkan bibirmu, "Baik-baik ya, Shell"

"Iya, kamu juga ya" jawabku singkat, dengan lengkungan senyum dibibir.

Tanda pengungkapan. Lalu terpisah, dipersimpangan gerbang sekolah, karena berbeda arah.

dari seorang perempuan
yang tak pernah lupa tanggal ulangtahunmu
yang masih saja sering merindukanmu

Kamis, 03 April 2014

Jika dari awal aku tak mengenalmu

Akhirnya, aku sampai di tahap ini. Posisi yang sebenarnya tak pernah kubayangkan. Aku terhempas begitu jauh dan jatuh terlalu dalam. Kukira langkahku sudah benar. Kupikir anggapanku adalah segalanya. Aku salah, menyerah adalah jawaban yang kupilih; meskipun sebenarnya aku masih ingin memperjuangkan kamu.

Aku terpaksa berhenti karena tugasku untuk mencintaimu kini telah menjadi tugas barunya. Hari-hariku yang tiba-tiba kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini berlebihan. Tentu saja kaupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku.

Jika aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh ini. Jika aku cukup cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu spesial, mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal. Aku terburu-buru mengartikan segala perhatian dan ucapanmu adalah wujud terselubung dari cinta. Bukankah ketika jatuh cinta, setiap orang selalu menganggap segala hal yang biasa terasa begitu spesial dan manis? Aku pernah merasakan fase itu. Aku juga manusia biasa. Kuharap kamu memahami dan menyadari. Aku berhak merasa bahagia karena membaca pesan singkatmu disela-sela dingin malamku. Aku boleh tersenyum karena detak jantungku tak beraturan ketika kamu memberi sedikit kecupan meskipun hanya berbentuk tulisan; emotikon.

Aku mencintaimu. Sungguh. Mengetahui kautak memilihku adalah hal paling sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi kamu sebisaku, tapi dimana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu dingin, dan aku dilarang menuntut ini itu. Aku hanya temanmu. Hanya temanmu. Temanmu!

Jika kauingin tau, aku kesesakan dalam status yang menyedihkan itu. Aku terkatung-katung sendirian. Meminum asam dan garam, membiarkan kamu meneguk hal-hal manis. Begitu banyak yang kulakukan, mengapa matamu masih belum terbuka dan hatimu masih tertutup ragu?

Sejak dulu, harusnya tak perlu kuperhatikan kamu sedetail itu. Sejak pertama bertemu, harusnya tak perlu kucari kontakmu dan kuhubungi kamu dengan begitu lugu. Sejak tau kehadiranmu, harusnya aku tak menggubris. Aku terlalu penasaran, terlalu mengikuti rasa keingintauanku. Jika dari awal aku tak mengenalmu, mungkin aku tak akan tau rasanya meluruhkan airmata di pipi.

Iya. Aku bodoh. Puas?

Semua berlalu dan semua cerita harus punya akhir. Ini bukan akhir yang kupilih. Seandainya aku bisa memilih cerita akhir, aku hanya ingin mendekapmu, sehingga kautau; disini aku selalu bergetar ketika mendoakanmu.

Untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini

Aku bosan ketika bangun pagi hari hingga tidur malamku selalu diisi pertengkaran kecil dan bahkan pertengkaran yang cukup besar. Dimana dia selalu ingin menjadi pemenang, dimana dia selalu ingin menjadi aktor utama. Sementara aku, hanya pemain figuran yang tidak berhak melawan, posisiku hanya seseorang yang pasif yang mencoba mengerti semua perlakuannya walaupun ada banyak gejolak untuk melawan.

Ada saja hal-hal kecil yang dia jadikan sebagai acuan untuk berdebat panjang. Masalah komunikasi, masalah perhatian, masalah waktu, dan masalah-masalah lainnya yang selalu terlihat besar saat ia melebih-lebihkannya. Memangnya aku ini tempat sampah, "tempat" dimana ia menumpahkan segala kekesalan dan amarahnya saat ia merasa lelah dengan dunianya? Apa dia tak pernah berpikir bahwa aku sama seperti dia, yang juga punya perasaan? Apa dia tau, bahwa menjadi aku bukanlah hal yang mudah?

Seringkali aku merasa risih dengan semua hal yang ia lakukan padaku. Rasanya sehari seperti sebulan  lamanya. Seringkali aku terdiam melihat semua mengalir tanpa persetujuan dan keinginanku. Seringkali aku ingin lepas, tapi aku merasa jeratan itu masih terlalu kuat. Aku lelah menjalani hubungan yang hanya berjalan ditempat, dimana hanya ada satu orang yang berkorban demi satu orang lainnya. Dimana hanya ada aku yang berlelah sendirian hanya untuk menjaga yang seharusnya kulepaskan.

Dan, untuk kamu, ya kamu! Pria yang dulu pernah kucintai dan kukagumi sebelum aku bertemu dengannya. Jujur, aku merindukanmu. Merindukan sosok dewasa yang dulu menelusup lembut kedalam telingaku. Aku merindukan sosok sederhanamu dengan tinggimu yang lebih tinggi dari aku. Sekarang,

Mereka yang berjuang walau kesakitan

Sesuatu yang dipersatukan Tuhan tak dapat dipisahkan manusia. Seringkali kita menyebutnya jodoh. Ketika berlari, selalu tertuju ke arah yang sama. Ketika mencoba untuk pergi, selalu kembali ke jalan yang sama. Semua berputar dan ber rotasi, konsep jodoh sendiri semakin tereksplorasi. Katanya, jodoh berarti memiliki banyak kesamaan. Katanya, jodoh berkaitan dengan hilangnya perbedaan. Dan katanya lagi, jodoh adalah soal seutuhnya. Jika itulah yang berarti jodoh, lantas bagaimana mereka yang jelas-jelas berbeda?

Jatuh cinta menimbulkan banyak rasa juga tanya. Ada yang bertemu, begitu mudah jatuh cinta, lalu kemudian memiliki. Ada yang tak sengaja bertemu, menjalin persahabatan, lalu saling mencintai. Ada lagi yang tak pernah rencanakan apapun, tapi tiba-tiba jatuh cinta, namun terhalang untuk memiliki -karena perbedaan agama.

Pernahkah kita melirik sedikit pada jiwa-jiwa yang jatuh cinta walau berbeda? Seberapa besarkah perjuangan yang mereka lakukan hanya untuk merasakan jatuh cinta layaknya pasangan normal lainnya? Mereka kadang terpojokkan, oleh perbedaan yang katanya sulit disatukan; norma agama, sesuatu yang sudah menjadi patokan dan tak mampu lagi ditawar. Mereka berbeda tapi masih berjuang, mereka temukan banyak luka tapi berusaha tak terlihat kesakitan.

Ketika yang lain sibuk mencumbu tanpa pernah mengerti arti cinta yang sesungguhnya, mereka sibuk mengeja dan merapal doa yang sama; meskipun diucapkan dengan bahasa yang berbeda. Dalam setiap sujud, dalam setiap lipatan tangan, dalam setiap sentuhan Al-Quran, dan dalam setiap sentuhan Alkitab -mereka saling mendoakan, meskipun tau segalanya tak memungkinkan.

Segalanya terlewati dengan cara yang berbeda, apakah salah mereka? Hingga dunia menatap mereka layaknya penjahat kecil yang pasti bersalah dan tak berhak untuk membela diri. Apa salah mereka, jika mereka sama-sama mengenal Tuhan walaupun memanggilNya dengan panggilan berbeda?

Jika Tuhan inginkan sebuah pertanyaan, mengapa Dia ciptakan perbedaan? Apa gunanya cinta dan Bhinneka Tunggal Ika jika semua hanya abadi dalam ucapan bibir semata?

Rabu, 02 April 2014

Beri aku waktu, Tuhan

"Aku lelah menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri. Aku lelah menjadi seseorang yang bahkan tak kukenali sama sekali"

Aku hanya bisa mematung seusai mendengar vonis dokter yang saat ini masih tak kupercayai realitanya. Aku hanya bisa mematung dan berpikir, aku mencoba menyelami labirin-labirin dalam otakku yang semakin rumit dan tak kumengerti. Aku mencoba menguatkan langkahku dan menegakan ketegaran hatiku. Tapi, aku muak untuk terlihat menjadi kuat! Aku muak berpura-pura menjadi seseorang yang terlihat kuat! aku lelah harus terus terlihat seakan-akan aku percaya bahwa aku segera sembuh, bahwa aku dituntut agar tidak terlihat lemah karena penyakit yang masih saja menggerogoti tubuhku. Aku lelah berpura-pura dalam kesakitanku. Aku lelah dalam kepalsuan. Aku ingin menangis tapi nyatanya aku hanya bisa menyembunyikan air mataku.

Aku iri dengan mereka yang bisa tersenyum bahagia tanpa kepalsuan. Aku iri dengan mereka yang bisa berlari dan bergerak bebas dalam sandiwara yang skenarionya telah dipersiapkan Tuhan. Aku ingin seperti mereka yang menghabiskan waktunya tanpa khawatir akan hadirnya kematian yang bisa saja menghampiri mereka tiba-tiba. Aku ingin seperti mereka! Aku ingin menjadi pelakon dalam sandiwara ku sendiri, aku ingin menjadi pemeran utama dalam sandiwara yang Tuhan izinkan terjadi itu. Tapi, nyatanya, aku hanya bisa menjadi seorang penonton! Aku hanya bisa duduk diam! Aku hanya bisa menunggu datangnya kematian!

Kalau manusia diizinkan untuk marah dengan takdir yang Tuhan rancang, mungkin aku akan terus menjadi pemarah yang tidak henti-hentinya merapal kata-kata kekesalanku pada Tuhan. Kalau manusia berhak untuk merancang takdirnya sendiri, aku pasti mampu merancang kebahagiaanku sendiri, dengan kekuatanku sendiri, dengan kemampuanku sendiri. Tapi, inilah aku dalam keterbatasanku. Aku hanya bisa diam! Aku hanya bisa duduk memperhatikan! Aku hanya bisa melakukan kepalsuan! Aku hanya bisa bahagia walau dalam kepura-puraan.

Aku hanya ingin sembuh, Tuhan. Aku hanya ingin helaan nafasku tidak berhenti secepat ini. Aku lelah menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri. Aku lelah menjadi seseorang yang bahkan tak kukenali sama sekali. Aku lelah menahan sakit. Tuhan, bisakah sekali lagi kita bercakap dalam doa? Aku masih belum siap bercakap denganMu secra langsung, atau kujelaskan padaMu bahwa aku masih butuh waktu. Aku belum siap Kau jemput. Beri aku waktu, Tuhan. -dwtsr

AKU yang DIA sembunyikan

Aku tak pernah bebas mencintai dia. Dia lebih suka kucintai secara diam-diam. Dia lebih suka kucintai tanpa harus ada banyak orang yang tau. Itulah kita, dengan kemesraan yang kami sembunyikan, dengan sapaan sayang yang tak pernah terdengar di muka umum. Seringkali, ada rasa sakit yang menyelinap secara nyata dalam "kerahasiaan" ini, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak pernah mampu melawan dia yang tetap saja mengatakan sayang meskipun aku selalu dia sembunyikan.

Kami memang terlihat seakan-akan tak memiliki hubungan khusus, kami memang seringkali terlihat seakan tak punya perasaan apa-apa. Padahal, saat kami hanya berdua, perasaan itu membuncah dengan liarnya, rasa cinta itu mengalir dengan derasnya. Tak ada orang lain yang tau bahwa kami telah bersama, karena dia selalu berpendapat bahwa suatu hubungan memang tak butuh publikasi berlebihan. Tapi, menurutku, ini bukan hanya sekedar publikasi yang dia ceritakan, nyata nya aku benar-benar disembunyikan, nyata nya saat dia bersama teman-temannya, aku seakan-akan tak pernah ada didekatnya, aku diperlakukan seperti orang lain. Ada rasa sakit yang sebenarnya diam-diam menyiksaku, tapi aku masih sulit memutuskan tindakan yang harus kulakukan.

Memang, didepannya aku tak pernah mempermasalahkan pengabaiannya, tapi justru tindakan itulah yang membuatku tersiksa dibelakangnya. Aku memang bahagia saat bersamanya, tapi apa gunanya kalau dia hanya sanggup untuk menyembunyikanku? Aku memang merasa hangat jika dalam peluknya, tapi apa gunanya jika pelukanmu itu semu dan tak bisa terus menghangatkanku? Aku terpaksa menunggu dihubungi lebih dulu, jadi dia akan datang padaku ketika dia hanya membutuhkanku? Padahal aku merindukannya, padahal aku ingin menghubunginya lebih dulu.

Aku seringkali merasa bukan seseorang yang penting dalam hidupnya, karena memang dia jarang memperlakukanku layaknya orang penting dalam hidupnya, padahal aku selalu menganggap dirinya penting dalam hidupku, bahwa sebagian diriku ada bersamanya. Lupakan makan malam romantis, lupakan gandengan tangan yang manis, lupakan boneka yang tersenyum dengan bengis, dia memang tak seromantis pria-pria lainnya, dia memang selalu lupa untuk memperlakukanku layaknya wanita. Mungkin, aku sudah terbiasa disakiti olehnya. Mungkin, perasaanku buta akan cinta sesungguhnya, sehingga perlakuan yang menyakitkan pun tetap kuanggap sebagai perlakuan yang membahagiakanku.

Dia bahkan tak mempertegas status kita. Seringkali aku bertanya, inikah cinta yang kucari jika dia hanya bisa menyakiti? Inikah dunia yang kuharapkan jika aku merasa frustasi? Inikah hubungan yang akan membahagiakanku jika dia tak pernah menganggapku ada dan nyata?

Apakah ini saatnya melanjutkan, atau berhenti ditengah jalan? -dwtsr

Inikah rasanya jarak?

Jarak sejauh ini tak mampu membuat kita berbuat dan bergerak lebih banyak. Seakan-akan aku dan kamu tak punya ruang untuk saling bersentuhan juga saling menatap. Rasanya menyakitkan jika keterbatasanku  dan keterbatasanmu menjadi penyebab kita tak banyak tau dan tak banyak bertemu. Setiap hari, kita menahan rindu yang semakin menggebu dan tak mereda. Inikah cara cinta menyiksa? Melalui jarak ratusan kilometer?

Aku menghela nafas, membayangkan jika kamu bisa terus berada disampingku dan merasakan yang juga kurasakan. Maka mungkin tak akan ada airmata ketika hanya tulisan dan suara yang bisa menguatkan kita. Maka tentu saja tak akan ada ucapan rindu berkali-kali yang terlontar dari bibir kita, ketika perasaan itu semakin membabibuta.

Apakah yang kita pertahankan selama ini? Apakah yang kita andalkan sejauh ini? Sekuat apakah perasaan cinta kita? Menahan dan mempertahankan, dan kadangkala memicu pertengkaran. Tapi ... itulah manisnya jarak, ia membuat kita saling menyadari, tak ada cinta tanpa luka, tak ada cinta tanpa rindu.

Sayang, apalah arti ratusan kilometer jika kita masih mengeja nama yang sama? Apakah arti jauhnya jarak jika aku dan kamu masih sangat mungkin memperthankan semuanya? Kita jarang saling bergenggaman tangan, jarang sekali berpelukan, dan sangat jarang berpandangan. Namun, percayalah, sayang, tak saling bersentuhan bukan berati cinta kita punya banyak kekurangan.

Apa yang kucari dan apa yang kamu cari? Tak ada, kita masih meraba-raba apa itu cinta dan bagaimana kekuatan itu bisa membuat kita bertahan. Rasa cemburu, rasa ragu, dan rasa rindu sebenarnya adalah pemanis. Tidak ada hal yang sangat berat, jika kita melalui berdua; melewatinya bersama.

Selama satu bulan yang kita lihat masih sama, selama sinar matahri yang menyengat kulit kita masih sama hangatnya, maka pertemuanku dan kamu masih akan tetap terjadi.

Jarak hanyalah sekedar angka, jika kita masih memperjuangkan cinta yang sama.

Yang aku perjuangkan, yang kau abaikan

Setiap orang punya kisahnya masing-masing. Dalam kisahnya, ia harus berjuang, berdiam dan menunggu pun juga adalah bagian dari perjuangan. Menunggu. Itulah yang selama ini kulakukan, sebagai wujud dari perasaanku yang entah mengapa masih ingin memperjuangkanmu.

Aku tau, setiap malamku selalu ku isi dengan kenangan dan ingatan. Kenyataan yang harus kuterima, kautak disampingku, entah untuk menenangkan sedihku dan merangkul kesepianku. Dengan sikapmu yang tidak peka seperti itu, mengapa aku masih ingin memperjuangkanmu? Aku tak tau, jadi jangan tanyakan padaku mengapa aku juga bisa mencintaimu dengan cinta yang tak benar-benar kupahami.

Ketika suaramu mengalir di ujung telepon, ada perasaan rindu yang tidak benar-benar aku ungkapkan. Rindu yang kaudiamkan, terlalu sibuk dalam penantian hingga berakhir pada airmata. Apakah kau tau akan hal itu? Tentu tidak, kautidak memedulikan sedalam aku memedulikanmu. Tak ada cinta dimatamu, sedalam cinta yang ku punya. Tapi, dengan kebutaan dan kebisuan yang ku punya, aku masih ingin mempertahankan "kita" yang sebenarnya membuahkan sakit bagiku.

Kekhawatiranku, yang tak pernah kuceritakan padamu, tentu tak pernah kaupikirkan. Doaku yang kusebutkan tentu tak seperti doa yang selalu kamu ucapkan. Perbedaan ini sungguh membuatku seakan tak mengerti apa-apa. Ketakutanku membungkam segalanya. Apakah kamu pantas diperjuangkan sejauh ini? Akankah kebersamaan kita punya akhir bahagia?

Aku takut ... aku takut dengan banyak hal yang diam-diam menyerang kita dari belakang. Kebersamaan kita, yang memang tak berjalan dengan mudah ini cukup membuatku lelah. Aku ingin berhenti memperjuangkanmu. Aku lelah dihantui kabut hitam yang menodai pencarianku selama ini. Aku inginkan matahari, bukan mendung seperti ini.

Dimana kamu ketika aku inginkan kamu disini? Kemana larinya kamu ketika aku berjuang untuk satu-satunya makhluk yang  kupikir bisa memberiku kebahagiaan nyata? Seringkali ku maafkan ketidakhadiranmu, seringkali ku maklumi kesalahanmu, dan selalu kuberikan senyum terbaik ketika sesungguhnya aku ingin menangis.

Ini semua perjuanganku untuk mempertahankanmu, apakah sudah cukup menghilangkan ketidakpekaanmu? Inilah perjuanganku, yang selama ini kauabaikan. Apakah hatimu sedikit tersentuh, hingga kauingin datang dan membawaku pulang?