Senin, 29 September 2014

Selamat ulangtahun, kamu.

Sebelum hari ini berubah jadi kemarin, aku hanya ingin mengucapkan rasa syukurku karena bisa mengenalmu sejauh ini, walaupun pada akhirnya kita tak saling berkenalan sejauh yang kuharapkan. Kepergianmu yang tanpa isyarat itu benar-benar membuatku seakan kehilangan udara. Aku yang sibuk mencari oksigen kebahagiaan seakan kausemburkan asap rokok penuh racun agar semakin merusak paru-paruku. Anehnya, meskipun kamu menyakitiku, aku tak pernah memilih untuk menjauhimu. Bodohkah aku? Ah, kamu tentu tau, Sayangku, wanita bodoh, yang sedang jatuh cinta, tak pernah memikirkan kebodohannya, ia hanya tau yang ia sebut pengorbanan. Pengorbanan  yang mungkin terbungkus secara gaib, pengorbanan yang mengatasnamakan; cinta.


Kamu semakin dewasa dan kuharap beberapa sikapmu bisa berubah. Meskipun mustahil bisa dekat denganmu lagi, meskipun hanya mimpi bisa kembali menggenggam jemarimu, aku hanya ingin berharap suatu hari nanti kaubisa berdiri sendiri, dengan kekuatanmu sendiri, dan aku disini hanya bisa menatapmu dari jauh, menangis dian-diam, dan menyebut namamu dalam setiap doa panjangku. Tak ada yang lebih masuk akal saat ini, aku hanya bisa mendoakanmu dan berharap Tuhan masih ingin mengasihaniku hingga menarik tubuhmu yang begitu jauh agar segera mendekat ke arahku. Aku ini telah kaubuat begitu gila, hingga aku tak tahu apakah sosokmu memang pantas diperjuangkan atau ditinggalkan saja seperti kamu dengan mudah meninggalkanku. Sayangnya, menjadi perempuan yang tega dengan orang yang sangat ia cintai bukanlah hal yang mudah. Dan, meninggalkanmu walau sesaat bukanlah hal yang gampang yang bisa kulakukan.

Perasaan ini, Sayang, seperti letupan keras yang bersuara tapi tak bergema. Aku pernah ada, namun untuk selanjutnya aku tak jadi siapa-siapa untukmu. Aku lenyap dalam jutaan pujian dari sekian banyak orang yang menggilaimu. Sekarang, aku kembali jadi perempuan yang kesepian, yang menunggu ksatrianya pulang dari perang. Pernah aku ikhlas melepaskanmu dan hal itu membuatku menyesal sepanjang waktu, mengapa dulu ta kutahan saja kaupergi, agar aku takkausakiti begini?


Sayang, bukan aku ingin mengemis, sungguh kautentu tahu. Aku perempuan yang takut untuk bicara, aku hanya bisa menumpahkan semua kekesalanku, kesakitanku, dan rasa bersalahku dalam tulisan. Aku tak tahu siapa yang salah dan aku tak ingin tahu apalagi menyalahkan siapa yang sesungguhnya harus bertanggung jawab atas semua perih yang kuterima. Tapi, aku mencoba tegar menghadapi ini semua, karena aku yang memilih untuk memperjuangkanmu, aku yang memilih mecintaimu, aku yang memilih berdarah-darah untukmu.


Tak akan kusalahkan siapapun. Tak akan kusalahkan kamu, mereka, apalagi dia. Sebagai wanita yang tak bisa apa-apa, izinkan aku memberi lambaian tangan terakhir untuk mengikhlaskanmu pergi, sekarang atau selamanya. Biarkan aku jadi wanita yang sabar menanti, meskipun kutahu kautak akan membuka pintu pagar dan memelukku sembari mengucapkan rindu dengan suara yang pelan serta sedikit kaku. Biarkan aku jadi perindu, yang sabar menunggu, meskipun kutahu, ksatriaku tidak pernah meminta untuk ditunggu.


Selamat ulangtahun, pria pembawa tawa. Terimakasih telat singgah. Terimakasih pernah hadir. Terimakasih untuk banyak hal yang tidak cukup hanya sekedar dihargai dengan kata terimakasih.


Kalau mau pulang, pulanglah. Berhentilah bertempur, Sayang, kamu butuh pelukan.


-dwtsr

Jumat, 29 Agustus 2014

Bisakah Kaubayangkan Rasanya jadi Aku

Kamu pernah menjadi bagian hari-hariku. Setiap malam, sebelum tidur, kuhabiskan beberapa menit untuk membaca pesan singkatmu. Tawa kecilmu, kecupan berbentuk tulisan, dan canda kita selalu membuatku tersenyum diam-diam. Perasaan ini sangat dalam, sehingga aku memilih untuk memendam.

Jatuh cinta terjadi karena proses yang cukup panjang, itulah proses yang seharusnya aku lewati secara alamiah dan manusiawi. Proses yang panjang itu ternyata tak terjadi, pertama kali aku melihatmu; aku tau suatu saat nanti kita bisa berada distatus yang lebih spesial. Aku terlalu penasaran ketika mengetahui kehadiranmu mulai mengisi kekosongan dihatiku. Kebahagiaanku mulai hadir ketika kamu menyapaku lebih dulu dalam pesan singkat. Semua begitu bahagia.... dulu.

Aku sudah berharap lebih. Kugantungkan harapanku padamu. Kuberikan sepenuhnya perhatianku untukmu. Sayangnya, semua hal itu seakan tak kaugubris. Kamu disampingku, tapi getaran yang kuciptakan seakan benar-benar tak kaurasakan. Kamu berada didekatku, namun segala perhatianku seperti menguap tak berbekas. Apakah kamu benar tidak memikirkan aku? Bukankah kata teman-temanmu, kamu adalah perenung yang seringkali menangis ketika memikirkan sesuatu yang begitu dalam? Temanmu bilang, kamu melankolis, senang memendam, dan enggan bertindak banyak. kamu lebih senang menunggu. Benarkah kamu memang menunggu? Apalagi yang kautunggu jika kausudah tau bahwa aku mencintaimu?

Senyummu adalah salah satu keteduhan yang paling ingin kulihat setiap hari. Dulu, aku berharap bisa menjadi salah satu sebab kautersenyum setiap hari, tapi ternyata harapku terlalu tinggi.

Semua telah berakhir. Tanpa ucapan pisah. Tanpa lambaian tangan. Tanpa kaujujur mengenai perasaanmu. Perjuanganku terhentikarena aku merasa tak pantas lagi berada di sisimu. Sudah ada seseorang yang baru, yang nampaknya lebih baik dan sempurna daripada aku. Tentu saja, jika dia tak sempurna--kautak akan memilih dia menjadi satu-satunya bagimu.

Setelah tau semua itu, apakah kamu pernah menilik sedikit saja perasaanku? Ini semua terasa aneh bagiku. Kita yang dulu sempat dekat, walaupun tak punya status apa-apa, meskipun berada dalam ketidakjelasan, tiba-tiba menjauh tanpa sebab. Aku yang terbiasa dengan sapaanmu di pesan singkat harus (terpaksa) ikhlas karena akhirnya kamu sibuk dengan kekasihmu. Aku berusaha meyakini diriku bahwa semua sudah berakhir dan aku tidak boleh lagi berharap jauh.

Jika aku bisa meminta langsung pada Tuhan, aku tak ingin perkenalan kita terjadi. Aku tak ingin mendengar suaramu ketika menyebutkan nama. Aku tak ingin membaca pesan singkatmu yang lugu, tapi manis. Sungguh, aku tak ingin segala hal manis itu terjadi jika pada akhirnya kamu menghempaskan aku sekeji ini.

Kalau kauingin tau bagaimana perasaanku, seluruh kosakata dalam miliyaran bahasa tak mampu mendeskripsikan. Perasaan bukanlah susunan kata dan kalimat yang bisa dijelaskan dengan definisi dan arti. Perasaan adalah ruang paling dalam yang tak bisa tersentuh hanya dengan perkataan dan bualan. Aku lelah. Itulah perasaanku. Sudahkah kaupaham? Belum. Tentu saja. Apa pedulimu padaku? Aku tak pernah ada dalam matamu, aku selalu tak punya tempat dalam hatimu.

Setiap aku melihatmu dengannya; aku selaluberusaha menganggap semuanya baik-baik saja. Semua akan berakhir seiing berjalannya waktu. Aku membayangkan perasaanku yang suatu saat nanti pasti akan hilang, aku memimpikan lukaku akan segera kering, dan tak ada lagi hal-hal penyebab aku menangis setiap malam. Namun... sampai kapan aku harus mencoba?

Sementara ini aja, aku tak kuat melihatmu menggenggam jemarinya. Sulit bagiku menerima kenyataan bahwa kamu yang begitu mencintaiku ternyata malah memilih pergi bersama yang lain. Tak mudah meyakinkan diriku sendiri untuk segera melupakanmu kemudian mencari pengganti.

Seandainya kamu bisa membaca perasaanku dan kamu bisa mengetahui isi otakku, mungkin hatimu yang beku akan segera mencair. Aku tak tau apa salahku sehingga kita yang baru saja kenal, baru saja mencicipi inta, tiba-tiba terhempas dari dunia mimpi ke dunia nyata. Tak penasarankah kamu pada nasib yang membiarkan kita kedinginan seorang diri tanpa teman dan kekasih?

Aku menulis in ketika mataku tak kuat lagi menangis. Aku menulis ini ketika mulutku tak mampu lagi berkeluh. Aku mengingatmu sebagai sosok yang pernah hadir, meskipun tak pernah benar-benar tinggal. Seandainya kautau perasaanku dan bisa membaca keajaiban dalam perjuanganku, mungkin kamu akan berbalik arah--memilihku sebagai tujuan. Tapi, aku hanya persinggahan, tempatmu meletakan segala kecemasan, lalu pergi tanpa janji untuk pulang.

Semoga kautau, aku berjuang, setiap hari untuk melupakanmu. Aku memaksa diriku agar membencimu, setiap hari, ketika klihat kamu bersama kekasih barumu. Aku berusaha keras, setiap hari, menerima kenyataan yang begitu kelam.

 Bisakah kaubayangkan rasanya jadi orang yang setiap hari terluka, hanya karena ia tak tau bagaimana perasaan orang yang mencintainya? Bisakah kaubayangkan rasanya jadi aku yang setiap harus melihatmu dengannya?

Bisakah kau bayangkan rasanya jadi seseorang yang setiap hari manahan tangisnya agar tetap terlihat baik-baik saja?

Kamu tak bisa. Tentu saja. Kamu tidak perasa.

-repostdwtsr

Rabu, 14 Mei 2014

Senyata apakah kamu?

Ternyata, perkenalan bertahun-tahun tak menjamin cinta bisa hadir. Juga tatap muka yang begitu sering tak menjadi pembuktian, bahwa cinta akan tumbuh tanpa diminta. Dulu, aku selalu percaya itu. Bahwa cinta butuh tatap mata, bahwa cinta butuh perjumpaan nyata. Dan, cinta butuh sentuhan ringan, mungkin pelukan, kecupan, atau sedikit bisikan yang menggelitik telinga. Awalnya aku percaya itu semua, sampai pada akhirnya aku mengenalmu.

Begini, semua terjadi tanpa kita minta bukan? Kita juga tak berencana untuk saling mengenal. Semua terjadi. Begitu saja. Tanpa pernah kita mengetahui kelanjutan perkenalan singkat ini. Tulisan adalah modal awal, setidaknya untuk saling mengenal. Aku tau ini bodoh, terlalu banyak perasaan asing yang mulai meremas dan menguras hari-harimu dan hari-hariku. Ada banyak cerita yang sepertinya tak mampu lagi diwujudkan dalam kata, karena terlalu rumit untuk dijelaskan bahwa untuk dilisankan. Perasaan itu seperti berlomba-lomba merusak otak dan hati, hingga bibir kita kelu dan malu-malu untuk menyebutnya... rindu.

Karena terbiasa dengan sapaan ringanmu yang berwujud pada tulisan sederhanamu, karena mulai nyaman pada sapa hangatmu di ujung telepon, kau dan aku seperti menemukan satu hal yang selama ini sempat hilang. Begitu tergodanya kita pada dunia yang tak tersentuh jemari itu, hingga segalanya berlanjut pada komunikasi intensif dibumbui rasa cemburu. Pantaskah jika aku dan kamu mencapai titik ini? Terlalu cepatkah jika kita menyebutnya cinta?

Oke, lupakan, aku tau kamu sangat benci berbicara tentang hal yang serius. Seperti yang kaubilang dalam perkenalan awal kita "Have fun! Hilangkan kesepian!" Iya, menghilangkan kesepian, perasaan yang telah lama membelenggu kita berdua. Aku dan kamu sedang berusaha menghilangkan kesepian, dan ketika bertemu (walau tak sengaja) ternyata dinding kesepian seperti runtuh pelan-pelan, tanpa pemaksaan.

Benar, kita tak saling memiliki. Benar, semua terjadi seperti mimpi. Benar, semua (mungkin) hanya ilusi. Kita terjebak situasi, dan terlalu percaya bahwa cinta telah hadir ditengah-tengah kita, mengisi sudut-sudut hati yang sempat dingin. Aku menganggap segalanya hanya permainan, yang suatu saat akan berakhir; entah dengan akhir yang kusukai atau kubenci. Tapi, bisakah jemariku mengendalikan akhir dari permainan? Atau aku pasrah saja pada keinginanmu... untuk melanjutkan atau mengakhiri aegalanya.

Jika semua hanya permainan, jika semua hanya berkaitan dengan yg instan, tapi mengapa kauseperti memperhatikanku dengan perhatian yang mendalam? Apabila semua hanya ilusi, mengapa kauselalu datang dan kembali ke mari? Apakah ada hal spesial yang membuatmu terus ingin berlari ke arahku? Tapi, mengenaskan juga jika sebenarnya hanya aku yang memperlakukan semuanya dengan serius. Dan, ternyata kamu memang sedang bermain-main, sedang meloncat dari satu hati ke hati lainnya.

Sungguh, aku tak pernah percaya tentang cinta tanpa tatapan mata juga tanpa genggaman tangan yang belum saling bersinggungan. Tapi, entah mengapa, aku merasa takut kehilangan.

*postby:dwtsr*

Bukan kisah yang terlalu penting

Aku masih merasakan sesak yang sama. Aku tau bahwa pada akhirnya aku akan sesedih ini, aku berusaha menghindari airmata sekuat yang aku bisa. Tapi, kautau, aku adalah wanita paling tidak kuat menahan kesedihan. Kamu mendengar ceritaku tentang pria itu kan? Aku selalu bercerita padamu tentang dia. Seberapa dalamnya perasaanku, seberapa kuat cinta makin menerkamku, dan seberapa hebat senyumnya bisa sebegitu menguhkan langkahku.

Kamu tentu tau seberapa dalam perasaanku padanya dan betapa aku takut perbedaan aku dan dia menjadi jurang. Aku tak pernah memikirkan perpisahan selama ini, tapi ternyata hal yang begitu tak ingin kupikirkan pada akhirnya terpaksa masuk otakku. Aku dan dia tak lagi seperti dulu, dan tawanya tak lagi serenyah dulu. Aku tak tau perubahan macam apa yang membuat sosok pria itu begitu berbeda.

Dari semua sikapku, tak mungkin kautak tau aku punya perasaan lebih padanya. Dari semua ceritaku, tak mungkin kautak paham bahwa aku mulai jatuh cinta padanya. Aku terlalu banyak diam dan memndam, mungkin disitulah kesalahanku. Terlalu egois mengatakan dan terlalu takut mengungkapkan. Aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa dan tak bisa mengkambinghitamkan siapapun. Bukankah dalam cinta tak pernah ada yang salah?

Mengetahui kenyataan yang mencekam seperti itu, aku jadi malas tersenyum dan berbicara banyak tentang perasaanku pada orang lain. Aku malah semakin belajar untuk menutup rapat-rapat mulutku pada setiap perasaan yang minta diledakkan lewat curhat-curhat kecil.

Berbahagialah kamu bersama pria itu, pria yang selalu kubawa dalam cerita-ceritaku. Pria yang bagiku terlalu tinggi untuk kugapai dan terlalu misterius untuk kumengerti jalan pikirannya. Setiap melihatmu dengan pria itu, aku berusaha meyakinkan diriku; bahwa aku juga harus ikut berbahagia melihatmu dengannya. Sejatinya, cinta adalah ikhlas melihat orang yang kucintai bahagia meskipun ia pernah menjadikanku pilihan satu-satunya.

Tenanglah, aku sudah mulai melupakannya. Sudah ada seorang pria baru, yang tak begitu kucintai, tapi kehadirannya bisa sedikit mengundang senyum dibibirku. Aku tak tau, apakah perasaanku pada pria baru itu adalah cinta. Aku tak berusaha memahami, apakah hubungan yang kami jalani selama ini adalah ketertarikan sesaat atau hanya sarana untuk menyembuhkan luka hatiku? Kami tertawa bersama, menghabiskan waktu berdua, tapi segalanya terasa biasa saja. Tak ada ledakkan yang begitu menyenangkan ketika aku bertatap mata dengannya.

Pria yang selalu kuceritakan padamu, yang kini telah menjadi kekasihmu, selalu berbentuk gumpalan bayang-bayang di otakku. Semakin aku berusaha melawan,  semakin aku tak bisa menerima bahwa segalanya tak lagi sama. Aku tak ingin ingatanku dan perasaanku yang dulu begitu besar pada masa lalu menjadi penyiksa untuk pria baru yang ingin membahagiakanku kelak. Aku hanya berusaha mengerti yang terjadi dan berusaha pasrah dengan kenyataan yang memang harus kuketahui. Aku tak ingin dibohongi oleh kesemuan yang membahagiakan, lebih baik kenyataan yang memuakan tapi penuh kejelasan.

Aku mohon, jagalah pria itu dengan susah payah, dengan sekuat tenagamu. Aku ingin kebahagiannya terjamin olehmu. Aku ingin dia bahagia bersamamu. Disini, aku tak bisa berbuat banyak, selain membantu dalam doa.

Aku tak sempat membuat dia tersenyum. Tolong, inilah permintaanku yang terakhir, setelah ini aku tak akan mengganggumu; bahagiakan dia, buatlah dia terus tersenyum, danbiarkan saja dia tak tau ada seseorang yang terluka diam-diam disini.

*postby:dwtsr*

Jumat, 04 April 2014

Cinta Pertama Itu ...

Untukmu, pria yang kubenci sejak kelas 3 SD, namun begitu kucintai saat kelas 6 SD.

Boleh basa-basi sedikit? Sudah berapa lama ya kita tidak bertemu? Bagaimana wujudmu saat ini? Masihkah pipimu merah ketika cahaya matahari mencium lembut pipimu? Masihkah rambut lucu ketika keringat membasahi tempurung kepalamu? Masihkah kamu membawa saputangan untuk membasuh keringatmu? Apakah semua telah berbeda?

Untukmu, si unik dengan senyum fantasi.

Aku bertanya-tanya, bagaimana sinar matamu saat ini? Masihkah sejuk dan beningnya seperti dulu? Seperti kala kita membagi bekal bersama. Saat anak-anak yang lain sibuk bermain, aku dan kamu malah duduk dibangku kelas, hanya berdua. Sambil mengunyah nasi yang masih penuh dimulutmu, kaubercerita banyak hal padaku. Sewaktu itu, kaumasih bercita-cita ingin menjadi polisi, dan aku bercita-cita ingin menjadi doktor. Mengingat kenangan memang indah, mampu membuat seseorang tersenyum walaupun masa itu tak akan pernah kembali.

Untukmu, yang sekarang entah berada dimana dan bersama siapa sekarang

Dulu, saat pertama kali bertemu, aku sangat membencimu. Aku benci ketika tau kau berada diranking dua dan aku diranking empat. Hey! Kaubuat gila! Sampai duduk di bangku kelas 6 pun, kita masih saja sekelas. Astaghfirullahaladzim Tuhan, siksaan apalagi ini? Tapi, entah mengapa, ada titik dimana kita tak seperti musuh, ada saat dimana kita tiba-tiba menjadi dekat, dan aku tak pernah tau mengapa rasa benci itu  berubah menjadi begini. Entah mengapa rasa iri itu berevolusi menjadi cinta dalam usia dini.

Saat paduan suara, aku tau kamu sering melirikku diam-diam, karena berkali-kali aku menangkap basah kamu sedang menatapku. Saat aku jadi pembawa bendera setiap hari Senin, kauselalu melihatku setiap langkahku, terselip senyum bahkan tertawa kecil. Hey! Saat itu kita masih dibangku sekolah dasar! Mengapa kauajarkan perasaan aneh itu padaku? Dulu ...  Kita masih terlalu dini untuk mengerti cinta, apalagi menafsirkannya.

Untukmu, yang mungkin tidak akan membaca tulisan ini

Sedang apa kamu disana? Apakah kaumasih ingat sosokku dan bentuk wajahku? Apakah kaumasih ingat banyak hal yang terjadi saat kita SD? Ah ... mungkin kau lupa, aku masih mengingat kenangan-kenangan itu karena aku punya perasaan yang berbeda denganmu. Entahlah ... mungkin perasaanmu tak sama dengan perasaanku.

Aku masih ingat perpisahan kita kala itu, saat legalisasi ijazah SD, kau mengucapkan selamat padaku, walaupun nilai kita rata-ratanya hampir sama. Yap! Saat itu juga kita membicarakan rencana sekolah saat SMP nanti, kita berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Langkahku dan langkahmu berhenti, kita saling menatap, jantungku bereaksi dengan hormon adrenalin, detaknya begitu kencang, kaumenggetarkan bibirmu, "Baik-baik ya, Shell"

"Iya, kamu juga ya" jawabku singkat, dengan lengkungan senyum dibibir.

Tanda pengungkapan. Lalu terpisah, dipersimpangan gerbang sekolah, karena berbeda arah.

dari seorang perempuan
yang tak pernah lupa tanggal ulangtahunmu
yang masih saja sering merindukanmu

Kamis, 03 April 2014

Jika dari awal aku tak mengenalmu

Akhirnya, aku sampai di tahap ini. Posisi yang sebenarnya tak pernah kubayangkan. Aku terhempas begitu jauh dan jatuh terlalu dalam. Kukira langkahku sudah benar. Kupikir anggapanku adalah segalanya. Aku salah, menyerah adalah jawaban yang kupilih; meskipun sebenarnya aku masih ingin memperjuangkan kamu.

Aku terpaksa berhenti karena tugasku untuk mencintaimu kini telah menjadi tugas barunya. Hari-hariku yang tiba-tiba kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini berlebihan. Tentu saja kaupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku.

Jika aku punya kemampuan membaca matamu dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh ini. Jika aku cukup cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu spesial, mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal. Aku terburu-buru mengartikan segala perhatian dan ucapanmu adalah wujud terselubung dari cinta. Bukankah ketika jatuh cinta, setiap orang selalu menganggap segala hal yang biasa terasa begitu spesial dan manis? Aku pernah merasakan fase itu. Aku juga manusia biasa. Kuharap kamu memahami dan menyadari. Aku berhak merasa bahagia karena membaca pesan singkatmu disela-sela dingin malamku. Aku boleh tersenyum karena detak jantungku tak beraturan ketika kamu memberi sedikit kecupan meskipun hanya berbentuk tulisan; emotikon.

Aku mencintaimu. Sungguh. Mengetahui kautak memilihku adalah hal paling sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum mengerti. Mengapa semua berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku, menjunjung tinggi kamu sebisaku, tapi dimana perasaanmu? Tatapanmu dingin, sikapmu dingin, dan aku dilarang menuntut ini itu. Aku hanya temanmu. Hanya temanmu. Temanmu!

Jika kauingin tau, aku kesesakan dalam status yang menyedihkan itu. Aku terkatung-katung sendirian. Meminum asam dan garam, membiarkan kamu meneguk hal-hal manis. Begitu banyak yang kulakukan, mengapa matamu masih belum terbuka dan hatimu masih tertutup ragu?

Sejak dulu, harusnya tak perlu kuperhatikan kamu sedetail itu. Sejak pertama bertemu, harusnya tak perlu kucari kontakmu dan kuhubungi kamu dengan begitu lugu. Sejak tau kehadiranmu, harusnya aku tak menggubris. Aku terlalu penasaran, terlalu mengikuti rasa keingintauanku. Jika dari awal aku tak mengenalmu, mungkin aku tak akan tau rasanya meluruhkan airmata di pipi.

Iya. Aku bodoh. Puas?

Semua berlalu dan semua cerita harus punya akhir. Ini bukan akhir yang kupilih. Seandainya aku bisa memilih cerita akhir, aku hanya ingin mendekapmu, sehingga kautau; disini aku selalu bergetar ketika mendoakanmu.

Untuk seseorang yang mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini

Aku bosan ketika bangun pagi hari hingga tidur malamku selalu diisi pertengkaran kecil dan bahkan pertengkaran yang cukup besar. Dimana dia selalu ingin menjadi pemenang, dimana dia selalu ingin menjadi aktor utama. Sementara aku, hanya pemain figuran yang tidak berhak melawan, posisiku hanya seseorang yang pasif yang mencoba mengerti semua perlakuannya walaupun ada banyak gejolak untuk melawan.

Ada saja hal-hal kecil yang dia jadikan sebagai acuan untuk berdebat panjang. Masalah komunikasi, masalah perhatian, masalah waktu, dan masalah-masalah lainnya yang selalu terlihat besar saat ia melebih-lebihkannya. Memangnya aku ini tempat sampah, "tempat" dimana ia menumpahkan segala kekesalan dan amarahnya saat ia merasa lelah dengan dunianya? Apa dia tak pernah berpikir bahwa aku sama seperti dia, yang juga punya perasaan? Apa dia tau, bahwa menjadi aku bukanlah hal yang mudah?

Seringkali aku merasa risih dengan semua hal yang ia lakukan padaku. Rasanya sehari seperti sebulan  lamanya. Seringkali aku terdiam melihat semua mengalir tanpa persetujuan dan keinginanku. Seringkali aku ingin lepas, tapi aku merasa jeratan itu masih terlalu kuat. Aku lelah menjalani hubungan yang hanya berjalan ditempat, dimana hanya ada satu orang yang berkorban demi satu orang lainnya. Dimana hanya ada aku yang berlelah sendirian hanya untuk menjaga yang seharusnya kulepaskan.

Dan, untuk kamu, ya kamu! Pria yang dulu pernah kucintai dan kukagumi sebelum aku bertemu dengannya. Jujur, aku merindukanmu. Merindukan sosok dewasa yang dulu menelusup lembut kedalam telingaku. Aku merindukan sosok sederhanamu dengan tinggimu yang lebih tinggi dari aku. Sekarang,

Mereka yang berjuang walau kesakitan

Sesuatu yang dipersatukan Tuhan tak dapat dipisahkan manusia. Seringkali kita menyebutnya jodoh. Ketika berlari, selalu tertuju ke arah yang sama. Ketika mencoba untuk pergi, selalu kembali ke jalan yang sama. Semua berputar dan ber rotasi, konsep jodoh sendiri semakin tereksplorasi. Katanya, jodoh berarti memiliki banyak kesamaan. Katanya, jodoh berkaitan dengan hilangnya perbedaan. Dan katanya lagi, jodoh adalah soal seutuhnya. Jika itulah yang berarti jodoh, lantas bagaimana mereka yang jelas-jelas berbeda?

Jatuh cinta menimbulkan banyak rasa juga tanya. Ada yang bertemu, begitu mudah jatuh cinta, lalu kemudian memiliki. Ada yang tak sengaja bertemu, menjalin persahabatan, lalu saling mencintai. Ada lagi yang tak pernah rencanakan apapun, tapi tiba-tiba jatuh cinta, namun terhalang untuk memiliki -karena perbedaan agama.

Pernahkah kita melirik sedikit pada jiwa-jiwa yang jatuh cinta walau berbeda? Seberapa besarkah perjuangan yang mereka lakukan hanya untuk merasakan jatuh cinta layaknya pasangan normal lainnya? Mereka kadang terpojokkan, oleh perbedaan yang katanya sulit disatukan; norma agama, sesuatu yang sudah menjadi patokan dan tak mampu lagi ditawar. Mereka berbeda tapi masih berjuang, mereka temukan banyak luka tapi berusaha tak terlihat kesakitan.

Ketika yang lain sibuk mencumbu tanpa pernah mengerti arti cinta yang sesungguhnya, mereka sibuk mengeja dan merapal doa yang sama; meskipun diucapkan dengan bahasa yang berbeda. Dalam setiap sujud, dalam setiap lipatan tangan, dalam setiap sentuhan Al-Quran, dan dalam setiap sentuhan Alkitab -mereka saling mendoakan, meskipun tau segalanya tak memungkinkan.

Segalanya terlewati dengan cara yang berbeda, apakah salah mereka? Hingga dunia menatap mereka layaknya penjahat kecil yang pasti bersalah dan tak berhak untuk membela diri. Apa salah mereka, jika mereka sama-sama mengenal Tuhan walaupun memanggilNya dengan panggilan berbeda?

Jika Tuhan inginkan sebuah pertanyaan, mengapa Dia ciptakan perbedaan? Apa gunanya cinta dan Bhinneka Tunggal Ika jika semua hanya abadi dalam ucapan bibir semata?

Rabu, 02 April 2014

Beri aku waktu, Tuhan

"Aku lelah menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri. Aku lelah menjadi seseorang yang bahkan tak kukenali sama sekali"

Aku hanya bisa mematung seusai mendengar vonis dokter yang saat ini masih tak kupercayai realitanya. Aku hanya bisa mematung dan berpikir, aku mencoba menyelami labirin-labirin dalam otakku yang semakin rumit dan tak kumengerti. Aku mencoba menguatkan langkahku dan menegakan ketegaran hatiku. Tapi, aku muak untuk terlihat menjadi kuat! Aku muak berpura-pura menjadi seseorang yang terlihat kuat! aku lelah harus terus terlihat seakan-akan aku percaya bahwa aku segera sembuh, bahwa aku dituntut agar tidak terlihat lemah karena penyakit yang masih saja menggerogoti tubuhku. Aku lelah berpura-pura dalam kesakitanku. Aku lelah dalam kepalsuan. Aku ingin menangis tapi nyatanya aku hanya bisa menyembunyikan air mataku.

Aku iri dengan mereka yang bisa tersenyum bahagia tanpa kepalsuan. Aku iri dengan mereka yang bisa berlari dan bergerak bebas dalam sandiwara yang skenarionya telah dipersiapkan Tuhan. Aku ingin seperti mereka yang menghabiskan waktunya tanpa khawatir akan hadirnya kematian yang bisa saja menghampiri mereka tiba-tiba. Aku ingin seperti mereka! Aku ingin menjadi pelakon dalam sandiwara ku sendiri, aku ingin menjadi pemeran utama dalam sandiwara yang Tuhan izinkan terjadi itu. Tapi, nyatanya, aku hanya bisa menjadi seorang penonton! Aku hanya bisa duduk diam! Aku hanya bisa menunggu datangnya kematian!

Kalau manusia diizinkan untuk marah dengan takdir yang Tuhan rancang, mungkin aku akan terus menjadi pemarah yang tidak henti-hentinya merapal kata-kata kekesalanku pada Tuhan. Kalau manusia berhak untuk merancang takdirnya sendiri, aku pasti mampu merancang kebahagiaanku sendiri, dengan kekuatanku sendiri, dengan kemampuanku sendiri. Tapi, inilah aku dalam keterbatasanku. Aku hanya bisa diam! Aku hanya bisa duduk memperhatikan! Aku hanya bisa melakukan kepalsuan! Aku hanya bisa bahagia walau dalam kepura-puraan.

Aku hanya ingin sembuh, Tuhan. Aku hanya ingin helaan nafasku tidak berhenti secepat ini. Aku lelah menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri. Aku lelah menjadi seseorang yang bahkan tak kukenali sama sekali. Aku lelah menahan sakit. Tuhan, bisakah sekali lagi kita bercakap dalam doa? Aku masih belum siap bercakap denganMu secra langsung, atau kujelaskan padaMu bahwa aku masih butuh waktu. Aku belum siap Kau jemput. Beri aku waktu, Tuhan. -dwtsr

AKU yang DIA sembunyikan

Aku tak pernah bebas mencintai dia. Dia lebih suka kucintai secara diam-diam. Dia lebih suka kucintai tanpa harus ada banyak orang yang tau. Itulah kita, dengan kemesraan yang kami sembunyikan, dengan sapaan sayang yang tak pernah terdengar di muka umum. Seringkali, ada rasa sakit yang menyelinap secara nyata dalam "kerahasiaan" ini, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa, aku tak pernah mampu melawan dia yang tetap saja mengatakan sayang meskipun aku selalu dia sembunyikan.

Kami memang terlihat seakan-akan tak memiliki hubungan khusus, kami memang seringkali terlihat seakan tak punya perasaan apa-apa. Padahal, saat kami hanya berdua, perasaan itu membuncah dengan liarnya, rasa cinta itu mengalir dengan derasnya. Tak ada orang lain yang tau bahwa kami telah bersama, karena dia selalu berpendapat bahwa suatu hubungan memang tak butuh publikasi berlebihan. Tapi, menurutku, ini bukan hanya sekedar publikasi yang dia ceritakan, nyata nya aku benar-benar disembunyikan, nyata nya saat dia bersama teman-temannya, aku seakan-akan tak pernah ada didekatnya, aku diperlakukan seperti orang lain. Ada rasa sakit yang sebenarnya diam-diam menyiksaku, tapi aku masih sulit memutuskan tindakan yang harus kulakukan.

Memang, didepannya aku tak pernah mempermasalahkan pengabaiannya, tapi justru tindakan itulah yang membuatku tersiksa dibelakangnya. Aku memang bahagia saat bersamanya, tapi apa gunanya kalau dia hanya sanggup untuk menyembunyikanku? Aku memang merasa hangat jika dalam peluknya, tapi apa gunanya jika pelukanmu itu semu dan tak bisa terus menghangatkanku? Aku terpaksa menunggu dihubungi lebih dulu, jadi dia akan datang padaku ketika dia hanya membutuhkanku? Padahal aku merindukannya, padahal aku ingin menghubunginya lebih dulu.

Aku seringkali merasa bukan seseorang yang penting dalam hidupnya, karena memang dia jarang memperlakukanku layaknya orang penting dalam hidupnya, padahal aku selalu menganggap dirinya penting dalam hidupku, bahwa sebagian diriku ada bersamanya. Lupakan makan malam romantis, lupakan gandengan tangan yang manis, lupakan boneka yang tersenyum dengan bengis, dia memang tak seromantis pria-pria lainnya, dia memang selalu lupa untuk memperlakukanku layaknya wanita. Mungkin, aku sudah terbiasa disakiti olehnya. Mungkin, perasaanku buta akan cinta sesungguhnya, sehingga perlakuan yang menyakitkan pun tetap kuanggap sebagai perlakuan yang membahagiakanku.

Dia bahkan tak mempertegas status kita. Seringkali aku bertanya, inikah cinta yang kucari jika dia hanya bisa menyakiti? Inikah dunia yang kuharapkan jika aku merasa frustasi? Inikah hubungan yang akan membahagiakanku jika dia tak pernah menganggapku ada dan nyata?

Apakah ini saatnya melanjutkan, atau berhenti ditengah jalan? -dwtsr

Inikah rasanya jarak?

Jarak sejauh ini tak mampu membuat kita berbuat dan bergerak lebih banyak. Seakan-akan aku dan kamu tak punya ruang untuk saling bersentuhan juga saling menatap. Rasanya menyakitkan jika keterbatasanku  dan keterbatasanmu menjadi penyebab kita tak banyak tau dan tak banyak bertemu. Setiap hari, kita menahan rindu yang semakin menggebu dan tak mereda. Inikah cara cinta menyiksa? Melalui jarak ratusan kilometer?

Aku menghela nafas, membayangkan jika kamu bisa terus berada disampingku dan merasakan yang juga kurasakan. Maka mungkin tak akan ada airmata ketika hanya tulisan dan suara yang bisa menguatkan kita. Maka tentu saja tak akan ada ucapan rindu berkali-kali yang terlontar dari bibir kita, ketika perasaan itu semakin membabibuta.

Apakah yang kita pertahankan selama ini? Apakah yang kita andalkan sejauh ini? Sekuat apakah perasaan cinta kita? Menahan dan mempertahankan, dan kadangkala memicu pertengkaran. Tapi ... itulah manisnya jarak, ia membuat kita saling menyadari, tak ada cinta tanpa luka, tak ada cinta tanpa rindu.

Sayang, apalah arti ratusan kilometer jika kita masih mengeja nama yang sama? Apakah arti jauhnya jarak jika aku dan kamu masih sangat mungkin memperthankan semuanya? Kita jarang saling bergenggaman tangan, jarang sekali berpelukan, dan sangat jarang berpandangan. Namun, percayalah, sayang, tak saling bersentuhan bukan berati cinta kita punya banyak kekurangan.

Apa yang kucari dan apa yang kamu cari? Tak ada, kita masih meraba-raba apa itu cinta dan bagaimana kekuatan itu bisa membuat kita bertahan. Rasa cemburu, rasa ragu, dan rasa rindu sebenarnya adalah pemanis. Tidak ada hal yang sangat berat, jika kita melalui berdua; melewatinya bersama.

Selama satu bulan yang kita lihat masih sama, selama sinar matahri yang menyengat kulit kita masih sama hangatnya, maka pertemuanku dan kamu masih akan tetap terjadi.

Jarak hanyalah sekedar angka, jika kita masih memperjuangkan cinta yang sama.

Yang aku perjuangkan, yang kau abaikan

Setiap orang punya kisahnya masing-masing. Dalam kisahnya, ia harus berjuang, berdiam dan menunggu pun juga adalah bagian dari perjuangan. Menunggu. Itulah yang selama ini kulakukan, sebagai wujud dari perasaanku yang entah mengapa masih ingin memperjuangkanmu.

Aku tau, setiap malamku selalu ku isi dengan kenangan dan ingatan. Kenyataan yang harus kuterima, kautak disampingku, entah untuk menenangkan sedihku dan merangkul kesepianku. Dengan sikapmu yang tidak peka seperti itu, mengapa aku masih ingin memperjuangkanmu? Aku tak tau, jadi jangan tanyakan padaku mengapa aku juga bisa mencintaimu dengan cinta yang tak benar-benar kupahami.

Ketika suaramu mengalir di ujung telepon, ada perasaan rindu yang tidak benar-benar aku ungkapkan. Rindu yang kaudiamkan, terlalu sibuk dalam penantian hingga berakhir pada airmata. Apakah kau tau akan hal itu? Tentu tidak, kautidak memedulikan sedalam aku memedulikanmu. Tak ada cinta dimatamu, sedalam cinta yang ku punya. Tapi, dengan kebutaan dan kebisuan yang ku punya, aku masih ingin mempertahankan "kita" yang sebenarnya membuahkan sakit bagiku.

Kekhawatiranku, yang tak pernah kuceritakan padamu, tentu tak pernah kaupikirkan. Doaku yang kusebutkan tentu tak seperti doa yang selalu kamu ucapkan. Perbedaan ini sungguh membuatku seakan tak mengerti apa-apa. Ketakutanku membungkam segalanya. Apakah kamu pantas diperjuangkan sejauh ini? Akankah kebersamaan kita punya akhir bahagia?

Aku takut ... aku takut dengan banyak hal yang diam-diam menyerang kita dari belakang. Kebersamaan kita, yang memang tak berjalan dengan mudah ini cukup membuatku lelah. Aku ingin berhenti memperjuangkanmu. Aku lelah dihantui kabut hitam yang menodai pencarianku selama ini. Aku inginkan matahari, bukan mendung seperti ini.

Dimana kamu ketika aku inginkan kamu disini? Kemana larinya kamu ketika aku berjuang untuk satu-satunya makhluk yang  kupikir bisa memberiku kebahagiaan nyata? Seringkali ku maafkan ketidakhadiranmu, seringkali ku maklumi kesalahanmu, dan selalu kuberikan senyum terbaik ketika sesungguhnya aku ingin menangis.

Ini semua perjuanganku untuk mempertahankanmu, apakah sudah cukup menghilangkan ketidakpekaanmu? Inilah perjuanganku, yang selama ini kauabaikan. Apakah hatimu sedikit tersentuh, hingga kauingin datang dan membawaku pulang?

Selasa, 18 Maret 2014

Aku tak minta banyak hal, Tuhan

Tuhan ... selamat pagi, atau selamat siang, dan selamat malam. Aku tak tau di surga sedang musim apa, penghujan atau kemarau kah? Ataukah mungkin sekarang sedang turun salju? Pasti indah. Kalau boleh berbincang sedikit, aku belum pernah melihat salju. Mungkin, kalau aku sudah cukup dewasa dan sudah bisa menghasilkan uang sendiri, aku akan bisa menyaksikan salju, dengan mata kepalaku sendiri.

Aku tau Kau tak pernah sibuk.. Aku tau Kau selalu mendengar isi hatiku meskipun Kau tak segera memberi pukpuk di bahuku. Aku tak perlu curiga padaMu, soal Kau mendengar doaku atau tidak. Aku percaya telingaMu selalu tersedia untuk siapapun yang percaya padaMu. Aku yakin pelukanMu selalu terbuka bagi siapapun yang lelah pada dunia yang membuatnya menggigil. Aku mengerti tanganMu selalu siap menyatukan kembali kepingan-kepingan hati yang patah.

Masih tentang hal yang sama, Tuhan. Aku belum ingin ganti topik. Tentang dia. Seseorang yang selalu kuperbincangkan sangat lama bersamaMu. Seseorang yang selalu kusebut dalam setiap frasa kata ketika aku bercakap panjang denganMu

Aku sudah tau, perpisahan yang Kau ciptakan adalah sesuatu yang terbaik untukku. Aku mengerti kalau Kau sudah mempersiapkan seseorang yang jauh lebih baik darinya. Tapi ... bukan berarti aku harus absen menyebut namanya dalam doaku bukan?

Nah ... kalau yang ini, aku juga sudah tau. Dia sudah menemukan penggantiku, entah lebih baik atau lebih buruk dariku. Atas alasan apapun, aku harus turut bahagia mendengar berita itu, karena ia tak perlu merayakan kesedihannya seperti yang aku lakukan beberapa hari terakhir ini. Seiring mendapatkan penggantiku, ia tak perlu merasa galau ataupun merasa kehilangan. Sungguh ... aku tak pernah ingin dia merasakan sakit seperti yang kurasakan, Tuhan. Aku tak pernah tega melihat kecintaanku terluka seperti luka yang belum juga kering di dadaku. Aku hanya ingin kebahagiaannya terjamin olehMu, dengan atau tanpaku.

Tolong kali ini jangan tertawa, Tuhan. Aku tentu saja menangis, dadaku sesak ketika tau semua berlalu begitu cepat. Apalagi ketika dia menemukan penggantiku hanya dalam hitungan jam. Aku memang tak habis pikir. Padahal, aku sedang menikmati perasaan bahagia yang meletup pelan-pelan itu. Bukannya ingin berpikiran negatif, tapi ternyata setiap manusia punya topengnya masing-masing. Ia berganti-ganti peran sesukanya. Sementara aku belum cukup cerdas untuk mengerti wajah dan kenampakan aslinya. Aku hanya melihat segala hal yang ia tunjukkan padaku, tanpa pernah tau apa yang sebenarnya ada dalam hatinya. Aku tidak tau bagaimana kabarnya sekarang. Bagaimana hubungannya dengan kekasih barunya. Aku tak terlalu ingin mengurusi hal itu. Aku yakin dia pasti bahagia, karena begitu mudah mendapatkan penggantiku.

Aku percaya dia sedang dalam titik jatuh cinta setengah mati pada kekasih barunya, dan tidak lagi membutuhkan aku dalam helaan nafasnya. Permintaan yang sama seperti kemarin, Tuhan. Jagalah kebahagiaannya untukku. Bahagiakan dia untukku. Senyumnya adalah segalanya yang kuharapkan. Bahkan, aku rela menangis untuknya agar ada lengkungan senyum di bibirnya. Aku ingin lakukan apapun untuknya, tanpa melupakan rasa cintaku padaMu. Aku memang tak menyentuhnya. Tapi ... dalam jarak sejauh ini, aku bisa terus memluknya dalam doa.

Pernah terpikir agar aku bisa terkena amnesia dan melupakan segala sakit yang pernah kurasa. Agar aku tak pernah merasa kehilangan dan tak perlu menangisi sebuah perpisahan. Rasanya hidup tak akan terlalu rumit jika setiap orang mudah melupakan rasa sakit dan hanya mengingat rasa bahagia. Namun ... aku tau hidup tak bisa seperti itu, Tuhan. Harus ada rasa sakit agar kita tau rasa bahagia. Tapi, bagiku rasa sakit yang terlalu sering bisa membuat seseorang menikmati yang telah terjadi. Itu dalam persepsiku lho, Tuhan. Kalau pendapatMu berbeda juga tak apa-apa.

Aku memang tak perlu meratap, karena sepertinya ia bahagia bersama kekasih barunya. Ia pasti telah menemukan dunia baru yang indah dan menyenangkan. Aku turut senang jika hal itu benar, kembali pada bagian awal, Tuhan. Aku tak pernah ingin dia merasakan sakitnya perpisahan, seperti yang aku rasakan.

Akhir percakapan, aku tidak minta agar dia segera putus dari kekasihnya, atau hubungan mereka segera kandas ditengah jalan. Aku hanya minta agar dia sembuh dari maag akutnya. Agar ia terhindar dari vertigo parahnya. Agar muntah darahnya berhenti ketika tubuhnya kelelahan. Semoga kekasihnya mengerti betul penyakitnya seperti aku mengerti rasa sakitnya.

Kembali pada bagian awal. Aku hanya ingin ia bahagia. Cukup -dwtsr