Ada yang salah dengan hatiku. Bukankah berada disisimu adalah keinginan terbesarku? Bukankah memintamu untuk bersama, menjadi candu untukku?
Biasanya, berkali-kali kau buat aku jatuh pada cinta hanya dengan sekedar sapamu saja. Biasanya, berkali-kali kau jatuhkan, tetap saja aku menatapmu ada rasa yang menggebu. Biasanya, aku selalu menerimamu pada kesalahan yang sama.
Namun, kini ada yang berbeda. tak ada lagi hati yang berdegup kencang ketika kau sapa. tak ada lagi hati yang meronta ketika kau menggoreskan setiap ingkarmu. mungkin memang kau perlahan tak menjadi yang utama disetiap bait puisiku.
Maafkan aku
Aku tak pernah meletakkam janji apapun padamu. Aku memang pernah berkata bahwa mencintaimu adalah yang terindah bagiku dan bahwa mencintaimu aku butuh.
Namun bukan berarti bahwa lelah tak akan pernah menghampiriku. Ia akan datang beriringan dengan rasa sakit yang berkali-kali kau undang, ia datang tanpa mengenal waktu.
Maafkan aku jika kini aku tak semenyenangkan dulu, yang kutau aku pernah mati-matian memahami segalamu. Namun kau tak pernah menetapkan hatimu pada salah satu. Seandainya kejujuran tak dapat melukaimu.
Ini harap terakhirku
Semoga sesal tak datang menghampirimu. Semoga kau mematikan rasamu. Agar menyakiti dan disakiti taklagi menghantui aku dan kamu.
Maaf, dari aku yang mencintaimu,
dulu.
Source: https://steller.co/s/62DVNLn83ej
Sabtu, 15 Oktober 2016
Sabtu, 17 September 2016
365
Bahwa dalam
356 hari, bahagia tak selalu berpihak. Kita dipertemukan bukan karena keinginan
kita dipertemukan, tetapi karena sebuah kebetulan. Seandainya aku tidak
meng-iya-kan tawaran saat itu, kupikir sampai detik ini tak akan ada kisah yang
kuceritakan hari ini. Kala itu dibenakku adalah, bagaimana caranya bahagia
dengan separuh hati yang masih meronta.
Kini,
menunggu kedatanganmu, rasa-rasanya ada yang sedang memukul jantungku. Degupnya
berdetak lebih cepat dari biasanya, aku takut jika yang aku rasa adalah cinta.
Aku
menyangkalnya, namun setiap kali aku menyangkalnya aku selalu kalah dengan
rasaku sendiri.
Kubiarkan
senyum-senyum kecil itu menjadi sebuah kisah hingga waktu tiba bersama hati
yang sempurna.
Aku
mengetahui fakta bahwa kau memiliki rasa yang sama dengan apa yang aku rasa.
“Apa ini
cinta ya?” tanyaku padanya.
“Ah, tapi
tidak mungkin, masa laluku masih menghantui.” Lanjutku.
“Masa lalumu
akan hilang jika kaumenemukan orang baru dihidupmu.”
“Aku hanya
mengatakan apa yang kurasa, aku tak berharap banyak”.
Mungkin
bagiku mudah untuk jatuh cinta, namun untuk menempatimu dalam ruang tersendiri
itu bukan perkara mudah untuk hati yang masih terluka.
Aku tak
mengutarakan keberanianku ini padanya karena aku beranggapan bahwa dia pun
memiliki rasa yang sama denganku. Entah aku benar, atau itu hanya sekedar
harapku.
Yang
terbahagia adalah aku, yang paling bahagia adalah kita. Kita sama – sama saling
mengetahui perasaan kita.
Kini,
menatapmu, aku tak perlu lagi diam – diam. Kini, aku tak perlu lagi berpura-pura
tak cinta. Kini, aku dan kamu adalah kita.
Yang
sempurna bukan kamu, tetapi cinta yang hadir setelah aku berdamai dengan luka.
Sayang,
jangan bawa aku kelautan luka yang lebih dalam. Aku percaya bahwa kaulah yang
selanjutnya akan menjadi bahagiaku. Aku tak bisa menjanjikan cinta yang
sempurna, namun percayalah kau adalah orang pertama yang membuatku bahagia
setelah lama airmata menghujani hariku.
Bahagiaku,
suatu saat kau akan menjadi penyebab utama dibalik setiap sendu yang mengharu
biru.
“Tidak, aku
tak akan pergi. Aku mau berjuang apapun keadaannya.” Katamu.
Biarkan masa
lalumu tetap berada di singgasananya, dia pernah berjuang untukmu, namun kau
menyia-nyiakannya. Sekarang, dia akan memperjuangkan masa depannya; tanpamu.
Sembunyikanlah
apa yang ingin kausembunyikan. Aku siap untuk berada di titik terendah,
meninggalkan apa yang tak perlu aku pertahankan.
Menjadi yang
baik bukan perkara yang mudah, menjadi pemaaf tidak semudah meminta maaf. Aku
harus berdamai dengan segala hal yang menyerap penyebab luka, aku harus berdamai
dengan sakit yang tak bisa aku kemas dengan sempurna, dan aku harus berdamai
dengan pikiranku.
Aku menjadi
baik hanya untuk menjaga apa yang harus kujaga, agar aku tak menyesal ketika
apa yang tak pernah kujaga memilih untuk meninggalkanku, apalagi merusak
kebahagiaan seseorang yang pernah menjadikanku bahagianya dan mulai menyakiti
penyebab bahagia baru.
Kita berada
pada bahagia tanpa menduga sebelum kehilangan menjadi ketakutan terbesar yang
pernah ada, kita berada pada bahagia yang sempurna sebelum segala ketakutan
datang menjelma.
Kepada siapa
kau akan berusaha jika yang kau perjuangkan mulai mematikan hatinya?
Pernah aku
mencintaimu begitu menggebu, mematahkan segala kebencianku akan cinta, sebelum
akhirnya kautaburkan racun pada bahagiaku.
Kubiarkan
kau memahamiku lebih dalam, ku persilahkan kau untuk datang, menerimamu untuk
singgah, padahal saat itu aku masih merangkak menyembuhkan luka.
Kupikir kau
adalah dewa, menaburkan segala kebahagiaan pada luka yang belum kuhapuskan. Kepadamu
aku percaya bahwa kau penyembuh luka, kepadamu aku percaya bahwa kau adalah
bahagia. Namun aku salah, kau bukanlah dewa, kau adalah aku, kita sama;
manusia. Pembawa harapan, penabur kecewa, dan pengharap bahagia.
Apa kautau
seberapa menyakitkan ketakutan itu?
Pernahkah
kau mencintai seseorang begitu dalam sampai kauberpikir untuk menyakiti dirimu
sendiri, terdengar gila, kan? Ya, seharusnya kaupun rasakan itu, ketakutan akan
kepergianmu, ketakutan akan hilangnya cintamu, ketakutan akan dirimu, dan ketakutan
akan masa lalumu. Jika kaujadi aku, mungkin kau akan menyerah, tapi tidak
denganku, mencintaimu adalah satu-satunya alasan mengapa aku masih tetap
tinggal.
Mungkin aku
terlalu berlebihan ketika mencintai seseorang, caraku mencintaimulah yang
membawaku pada rasa sakit terdalam, caraku mencintaimu membawaku pada delusi
yang dapat menghancurkan aku. Bagaimana aku menjelaskannya? Setiap kali aku
mencintai seseorang aku selalu takut akan kepergiannya, takut ada pengkhiatan
yang menjelma dalam bahagia. Bagaimana agat kautau segala rasa yang sekarang
aku rasa?
Aku yakin,
mungkin diluar sana banyak sekali yang mencitaimu, mencintai sikapmu, mencintai
segala kebaikanmu, dan mereka akan secara terang-terangan menunjukkan padamu
atau mungkin diam-diam mendoakanmu, tidak seperti aku yang pura-pura tak peduli
padahal aku amat menginginkanmu.
Kaupun sebut
aku mementingkan perasaanku, aku ingin egois sepertimu, aku ingin menjadi egois
seperti kebanyakan wanita yang secara terang-terangan meminta kaudalam doanya,
aku juga ingin egois memintamu untuk tetap tinggal tanpa harus memikirkan apa
yang kaurasa. Tapi jika menjadi egois dapat membuat kauterluka akan kubiarkan
kau memenangkan egomu.
Pahamilah
sayang bahwa tidak hanya kau yang terluka, tapi juga aku yang sejatinya
mencintaimu terlalu dalam.
Kau pendusta
yang sempurna, sedangkan aku hanya orang bodoh yang mempercayai kesempurnaanmu.
Aku
mempersilahkan kamu masuk ke dalam, bukan mempersilahkanmu mengacak-acak apa
yang sudah aku rapikan, apalagi menggoreskan yang sudah menganga.
Ajak aku
terbang lebih tinggi, kemudian hempaskan aku ke dasar bumi dengan beralaskan
jeruji besi. Jika itu membuatmu tenang dan menang, aku terima.
Hatiku
selalu mengajakku menelurusi lorong kenangan, namun logikaku berkata jangan.
Mungkin sejatinya memang aku hanya sampai di batas kagummu saja.
Mari kita
memulai permainan yang kau buat ini, jangan salahkan aku jika kaukalah,
nikmatilah setiap kekalahannya dengan rasa sakut yang menggerogoti pikiranmu,
mematahkan bahagiamu, dan mengahntui setiap kau memejamkan matamu.
“Aku pergi
dan terimakasih atas 365 hari yang indah sekaligus menyakitkan ini”
Aku tidak
tau apa yang kamu rasa saat ini, resah karena perbuatanmu sendiri, yang aku tau
adalah sikapmu tak seindah ceritamu. Mungkin setia yang kamu ceritakan bukan
untukku, mungkin sikap baik yang kamu ceritakan selama ini, hanya untuk wanita
sebelum aku, dan mungkin semua hanya menjadi sebuah cerita tanpa pernah menjadi
nyata.
365 hari
yang lalu, aku menatap senyumanmu seolah hanya untukku. Namun, hari ini
senyumanmu tak lagi untukku.
365 hari
yang lalu, kau begitu menggebu saat menceritakan kisahmu, kisah yang ternyata
mengantarkanku pada kecewaku.
365 hari
yang lalu, kejujuran menjadi yang utama, namun hari ini kejujuran sudah tak ada
lagi artinya.
365 hari
yang lalu, waktu terus berdetik membawa kita dalam perjalanan yang sama, menggenggam
harapan, namun dalam malamnya kaurampas harapan yang kugenggam, lalu kau
berpura-pura merasa seperti yang aku rasa, sebelum akhirnya kau memutuskan ke
arah yang berbeda.
Segala hal
dapat berubah dalam 365 hari, begitupun dia yang sampai detik ini aku masih
mencintainya. Dia sekarang dipenuhi goresan disetiap sikapnya.
Aku tidak
lagi mengenalnya.
Terimakasih kautelah
mengantarkan aku pada perjalanan yang sempurna ini, selamat bahagia dengan apa
yang kaupilih.
Langganan:
Postingan (Atom)