Sabtu, 17 September 2016

365

Bahwa dalam 356 hari, bahagia tak selalu berpihak. Kita dipertemukan bukan karena keinginan kita dipertemukan, tetapi karena sebuah kebetulan. Seandainya aku tidak meng-iya-kan tawaran saat itu, kupikir sampai detik ini tak akan ada kisah yang kuceritakan hari ini. Kala itu dibenakku adalah, bagaimana caranya bahagia dengan separuh hati yang masih meronta. 

Kini, menunggu kedatanganmu, rasa-rasanya ada yang sedang memukul jantungku. Degupnya berdetak lebih cepat dari biasanya, aku takut jika yang aku rasa adalah cinta.
Aku menyangkalnya, namun setiap kali aku menyangkalnya aku selalu kalah dengan rasaku sendiri.

Kubiarkan senyum-senyum kecil itu menjadi sebuah kisah hingga waktu tiba bersama hati yang sempurna.

Aku mengetahui fakta bahwa kau memiliki rasa yang sama dengan apa yang aku rasa.
“Apa ini cinta ya?” tanyaku padanya.
“Ah, tapi tidak mungkin, masa laluku masih menghantui.” Lanjutku.
“Masa lalumu akan hilang jika kaumenemukan orang baru dihidupmu.”
“Aku hanya mengatakan apa yang kurasa, aku tak berharap banyak”.

Mungkin bagiku mudah untuk jatuh cinta, namun untuk menempatimu dalam ruang tersendiri itu bukan perkara mudah untuk hati yang masih terluka.

Aku tak mengutarakan keberanianku ini padanya karena aku beranggapan bahwa dia pun memiliki rasa yang sama denganku. Entah aku benar, atau itu hanya sekedar harapku.

Yang terbahagia adalah aku, yang paling bahagia adalah kita. Kita sama – sama saling mengetahui perasaan kita.

Kini, menatapmu, aku tak perlu lagi diam – diam. Kini, aku tak perlu lagi berpura-pura tak cinta. Kini, aku dan kamu adalah kita.

Yang sempurna bukan kamu, tetapi cinta yang hadir setelah aku berdamai dengan luka.

Sayang, jangan bawa aku kelautan luka yang lebih dalam. Aku percaya bahwa kaulah yang selanjutnya akan menjadi bahagiaku. Aku tak bisa menjanjikan cinta yang sempurna, namun percayalah kau adalah orang pertama yang membuatku bahagia setelah lama airmata menghujani hariku.

Bahagiaku, suatu saat kau akan menjadi penyebab utama dibalik setiap sendu yang mengharu biru.

“Tidak, aku tak akan pergi. Aku mau berjuang apapun keadaannya.” Katamu.
Biarkan masa lalumu tetap berada di singgasananya, dia pernah berjuang untukmu, namun kau menyia-nyiakannya. Sekarang, dia akan memperjuangkan masa depannya; tanpamu.

Sembunyikanlah apa yang ingin kausembunyikan. Aku siap untuk berada di titik  terendah, meninggalkan apa yang tak perlu aku pertahankan.

Menjadi yang baik bukan perkara yang mudah, menjadi pemaaf tidak semudah meminta maaf. Aku harus berdamai dengan segala hal yang menyerap penyebab luka, aku harus berdamai dengan sakit yang tak bisa aku kemas dengan sempurna, dan aku harus berdamai dengan pikiranku.

Aku menjadi baik hanya untuk menjaga apa yang harus kujaga, agar aku tak menyesal ketika apa yang tak pernah kujaga memilih untuk meninggalkanku, apalagi merusak kebahagiaan seseorang yang pernah menjadikanku bahagianya dan mulai menyakiti penyebab bahagia baru.

Kita berada pada bahagia tanpa menduga sebelum kehilangan menjadi ketakutan terbesar yang pernah ada, kita berada pada bahagia yang sempurna sebelum segala ketakutan datang menjelma.

Kepada siapa kau akan berusaha jika yang kau perjuangkan mulai mematikan hatinya?
Pernah aku mencintaimu begitu menggebu, mematahkan segala kebencianku akan cinta, sebelum akhirnya kautaburkan racun pada bahagiaku.

Kubiarkan kau memahamiku lebih dalam, ku persilahkan kau untuk datang, menerimamu untuk singgah, padahal saat itu aku masih merangkak menyembuhkan luka.

Kupikir kau adalah dewa, menaburkan segala kebahagiaan pada luka yang belum kuhapuskan. Kepadamu aku percaya bahwa kau penyembuh luka, kepadamu aku percaya bahwa kau adalah bahagia. Namun aku salah, kau bukanlah dewa, kau adalah aku, kita sama; manusia. Pembawa harapan, penabur kecewa, dan pengharap bahagia.

Apa kautau seberapa menyakitkan ketakutan itu?

Pernahkah kau mencintai seseorang begitu dalam sampai kauberpikir untuk menyakiti dirimu sendiri, terdengar gila, kan? Ya, seharusnya kaupun rasakan itu, ketakutan akan kepergianmu, ketakutan akan hilangnya cintamu, ketakutan akan dirimu, dan ketakutan akan masa lalumu. Jika kaujadi aku, mungkin kau akan menyerah, tapi tidak denganku, mencintaimu adalah satu-satunya alasan mengapa aku masih tetap tinggal.

Mungkin aku terlalu berlebihan ketika mencintai seseorang, caraku mencintaimulah yang membawaku pada rasa sakit terdalam, caraku mencintaimu membawaku pada delusi yang dapat menghancurkan aku. Bagaimana aku menjelaskannya? Setiap kali aku mencintai seseorang aku selalu takut akan kepergiannya, takut ada pengkhiatan yang menjelma dalam bahagia. Bagaimana agat kautau segala rasa yang sekarang aku rasa?

Aku yakin, mungkin diluar sana banyak sekali yang mencitaimu, mencintai sikapmu, mencintai segala kebaikanmu, dan mereka akan secara terang-terangan menunjukkan padamu atau mungkin diam-diam mendoakanmu, tidak seperti aku yang pura-pura tak peduli padahal aku amat menginginkanmu.

Kaupun sebut aku mementingkan perasaanku, aku ingin egois sepertimu, aku ingin menjadi egois seperti kebanyakan wanita yang secara terang-terangan meminta kaudalam doanya, aku juga ingin egois memintamu untuk tetap tinggal tanpa harus memikirkan apa yang kaurasa. Tapi jika menjadi egois dapat membuat kauterluka akan kubiarkan kau memenangkan egomu.

Pahamilah sayang bahwa tidak hanya kau yang terluka, tapi juga aku yang sejatinya mencintaimu terlalu dalam.

Kau pendusta yang sempurna, sedangkan aku hanya orang bodoh yang mempercayai kesempurnaanmu.

Aku mempersilahkan kamu masuk ke dalam, bukan mempersilahkanmu mengacak-acak apa yang sudah aku rapikan, apalagi menggoreskan yang sudah menganga.

Ajak aku terbang lebih tinggi, kemudian hempaskan aku ke dasar bumi dengan beralaskan jeruji besi. Jika itu membuatmu tenang dan menang, aku terima.

Hatiku selalu mengajakku menelurusi lorong kenangan, namun logikaku berkata jangan. Mungkin sejatinya memang aku hanya sampai di batas kagummu saja.

Mari kita memulai permainan yang kau buat ini, jangan salahkan aku jika kaukalah, nikmatilah setiap kekalahannya dengan rasa sakut yang menggerogoti pikiranmu, mematahkan bahagiamu, dan mengahntui setiap kau memejamkan matamu.

“Aku pergi dan terimakasih atas 365 hari yang indah sekaligus menyakitkan ini”

Aku tidak tau apa yang kamu rasa saat ini, resah karena perbuatanmu sendiri, yang aku tau adalah sikapmu tak seindah ceritamu. Mungkin setia yang kamu ceritakan bukan untukku, mungkin sikap baik yang kamu ceritakan selama ini, hanya untuk wanita sebelum aku, dan mungkin semua hanya menjadi sebuah cerita tanpa pernah menjadi nyata.

365 hari yang lalu, aku menatap senyumanmu seolah hanya untukku. Namun, hari ini senyumanmu tak lagi untukku.

365 hari yang lalu, kau begitu menggebu saat menceritakan kisahmu, kisah yang ternyata mengantarkanku pada kecewaku.

365 hari yang lalu, kejujuran menjadi yang utama, namun hari ini kejujuran sudah tak ada lagi artinya.

365 hari yang lalu, waktu terus berdetik membawa kita dalam perjalanan yang sama, menggenggam harapan, namun dalam malamnya kaurampas harapan yang kugenggam, lalu kau berpura-pura merasa seperti yang aku rasa, sebelum akhirnya kau memutuskan ke arah yang berbeda.

Segala hal dapat berubah dalam 365 hari, begitupun dia yang sampai detik ini aku masih mencintainya. Dia sekarang dipenuhi goresan disetiap sikapnya.

Aku tidak lagi mengenalnya.

Terimakasih kautelah mengantarkan aku pada perjalanan yang sempurna ini, selamat bahagia dengan apa yang kaupilih.

Source : https://steller.co/s/5b2x8UWrRkm