Sebelum hari ini berubah jadi kemarin, aku hanya ingin mengucapkan
rasa syukurku karena bisa mengenalmu sejauh ini, walaupun pada akhirnya
kita tak saling berkenalan sejauh yang kuharapkan. Kepergianmu yang
tanpa isyarat itu benar-benar membuatku seakan kehilangan udara. Aku
yang sibuk mencari oksigen kebahagiaan seakan kausemburkan asap rokok
penuh racun agar semakin merusak paru-paruku. Anehnya, meskipun kamu
menyakitiku, aku tak pernah memilih untuk menjauhimu. Bodohkah aku? Ah,
kamu tentu tau, Sayangku, wanita bodoh, yang sedang jatuh cinta, tak
pernah memikirkan kebodohannya, ia hanya tau yang ia sebut pengorbanan.
Pengorbanan yang mungkin terbungkus secara gaib, pengorbanan yang mengatasnamakan; cinta.
Kamu semakin dewasa dan kuharap beberapa sikapmu bisa berubah.
Meskipun mustahil bisa dekat denganmu lagi, meskipun hanya mimpi bisa
kembali menggenggam jemarimu, aku hanya ingin berharap suatu hari nanti
kaubisa berdiri sendiri, dengan kekuatanmu sendiri, dan aku disini hanya
bisa menatapmu dari jauh, menangis dian-diam, dan menyebut namamu dalam
setiap doa panjangku. Tak ada yang lebih masuk akal saat ini, aku hanya
bisa mendoakanmu dan berharap Tuhan masih ingin mengasihaniku hingga
menarik tubuhmu yang begitu jauh agar segera mendekat ke arahku. Aku ini
telah kaubuat begitu gila, hingga aku tak tahu apakah sosokmu memang
pantas diperjuangkan atau ditinggalkan saja seperti kamu dengan mudah
meninggalkanku. Sayangnya, menjadi perempuan yang tega dengan orang yang
sangat ia cintai bukanlah hal yang mudah. Dan, meninggalkanmu walau
sesaat bukanlah hal yang gampang yang bisa kulakukan.
Perasaan
ini, Sayang, seperti letupan keras yang bersuara tapi tak bergema. Aku
pernah ada, namun untuk selanjutnya aku tak jadi siapa-siapa untukmu.
Aku lenyap dalam jutaan pujian dari sekian banyak orang yang
menggilaimu. Sekarang, aku kembali jadi perempuan yang kesepian, yang
menunggu ksatrianya pulang dari perang. Pernah aku ikhlas melepaskanmu
dan hal itu membuatku menyesal sepanjang waktu, mengapa dulu ta kutahan
saja kaupergi, agar aku takkausakiti begini?
Sayang, bukan aku ingin mengemis, sungguh kautentu tahu. Aku
perempuan yang takut untuk bicara, aku hanya bisa menumpahkan semua
kekesalanku, kesakitanku, dan rasa bersalahku dalam tulisan. Aku tak
tahu siapa yang salah dan aku tak ingin tahu apalagi menyalahkan siapa
yang sesungguhnya harus bertanggung jawab atas semua perih yang
kuterima. Tapi, aku mencoba tegar menghadapi ini semua, karena aku yang
memilih untuk memperjuangkanmu, aku yang memilih mecintaimu, aku yang
memilih berdarah-darah untukmu.
Tak akan kusalahkan siapapun. Tak akan kusalahkan kamu, mereka,
apalagi dia. Sebagai wanita yang tak bisa apa-apa, izinkan aku memberi
lambaian tangan terakhir untuk mengikhlaskanmu pergi, sekarang atau
selamanya. Biarkan aku jadi wanita yang sabar menanti, meskipun kutahu
kautak akan membuka pintu pagar dan memelukku sembari mengucapkan rindu
dengan suara yang pelan serta sedikit kaku. Biarkan aku jadi perindu,
yang sabar menunggu, meskipun kutahu, ksatriaku tidak pernah meminta
untuk ditunggu.
Selamat ulangtahun, pria pembawa tawa. Terimakasih telat singgah.
Terimakasih pernah hadir. Terimakasih untuk banyak hal yang tidak cukup
hanya sekedar dihargai dengan kata terimakasih.
Kalau mau pulang, pulanglah. Berhentilah bertempur, Sayang, kamu butuh pelukan.
-dwtsr
Tidak ada komentar:
Posting Komentar